TIMES KARANGANYAR, JAKARTA – Langit di atas Kota Vatikan tampak muram pada Rabu sore, 7 Mei 2025. Asap hitam tebal mengepul dari cerobong Kapel Sistina, mengabarkan pada dunia bahwa pemilihan Paus baru belum menghasilkan kesepakatan. Ribuan pasang mata yang menatap dari Lapangan Santo Petrus harus kembali menunggu, berharap pada putaran selanjutnya.
Konklaf ini digelar untuk memilih penerus Tahta Suci sepeninggal Paus Fransiskus. Namun seperti banyak konklaf sebelumnya, kesepakatan tidak mudah dicapai. Asap hitam berarti tidak satu pun dari 133 kardinal yang ikut memilih berhasil meraih dukungan minimal dua pertiga suara—syarat mutlak untuk terpilih sebagai Paus baru.
“Secara umum lebih sulit untuk memprediksi hasil keputusan saat ini karena Dewan Kardinal lebih heterogen secara nasional dan budaya,” ujar Jorg Ernesti, sejarawan Gereja dari Universitas Augsburg, dikutip DW, Minggu (4/5/2025).
Lebih Banyak Kardinal, Lebih Banyak Dinamika
Jumlah peserta dalam konklaf kali ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan pemilihan Paus tahun 2013, di mana hanya 71 kardinal hadir. Kali ini, sebanyak 133 kardinal dari seluruh dunia berkumpul di Kapel Sistina. Komposisi ini jauh lebih beragam secara etnis, budaya, dan geopolitik—dan secara tidak langsung memperumit pencapaian konsensus.
Surat kabar Katolik Prancis La Croix bahkan enggan berspekulasi siapa yang akan terpilih. Mereka menyebut terlalu banyak kandidat potensial yang memenuhi syarat. Meski begitu, media tersebut tetap mencatat dua nama penting dari Asia dan Afrika: Uskup Agung Luksemburg Jean-Claude Hollerich dan Kardinal Luis Antonio Tagle dari Filipina.
Keduanya sempat aktif menyuarakan pandangan di media menjelang wafatnya Paus Fransiskus, namun belakangan memilih diam, seperti banyak tokoh Vatikan lainnya. Konklaf memang bersifat tertutup, tanpa akses publik, media, bahkan komunikasi elektronik.
Asap Hitam: Simbol Tradisi dan Ketertutupan
Asap hitam—yang muncul setelah surat suara dibakar bersama bahan kimia tertentu—telah menjadi penanda klasik belum terpilihnya Paus sejak abad ke-13. Tradisi ini mulai diterapkan pada konklaf tahun 1274 dan tetap bertahan hingga kini.
Pada Rabu, asap hitam mengepul setelah lebih dari tiga jam pemungutan suara pertama berlangsung. Umat Katolik di seluruh dunia hanya bisa menafsirkan dari simbol-simbol tersebut, sebab Vatikan tidak mengeluarkan pernyataan apa pun selama konklaf berlangsung.
Sulit Diprediksi, Sarat Ketegangan Internal
Menurut Ernesti, perbedaan latar belakang budaya dan orientasi teologi para kardinal menjadi tantangan utama dalam mencapai suara mayoritas. Selain soal geografis, para pemilih juga terbagi ke dalam kelompok-kelompok pemikiran: konservatif, progresif reformis, dan yang setia pada arah kepemimpinan Paus Fransiskus.
“Konklaf bukan proses politik parlementer. Ini adalah proses ritualistik dan sangat personal, di mana para kardinal mencoba saling mengenal dan merasakan siapa yang layak memimpin Gereja,” kata Ernesti.
Situasi ini diperparah oleh kehadiran sejumlah tokoh senior yang kontroversial. Kardinal Juan Luis Cipriani (81), yang sempat dihukum karena kasus pelecehan seksual pada 2019, dilaporkan hadir dalam pra-konklaf. Begitu pula Kardinal Roger Mahony (88) dari Los Angeles yang sebelumnya juga disorot terkait penanganan skandal serupa.
Harapan dan Ketegangan Terus Meninggi
Pengambilan suara selanjutnya dijadwalkan berlangsung Kamis (8/5/2025), dengan harapan akan muncul kandidat kuat yang mampu mengatasi kebuntuan. Namun tidak ada jaminan bahwa putaran itu akan menjadi yang terakhir. Dalam sejarah, beberapa konklaf memakan waktu hingga beberapa hari atau minggu.
Sementara itu, umat Katolik terus memadati Lapangan Santo Petrus, sebagian membawa lilin, spanduk, dan bendera negara mereka. Sebagian lainnya hanya duduk diam, menunggu isyarat yang mungkin turun dari langit: asap putih, tanda terpilihnya seorang Paus baru.
“Masyarakat luar tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sedang diperhitungkan di balik layar,” kata Ernesti, menekankan misteri dan keheningan yang membungkus proses ini.
Penutup: Satu Asap, Sejuta Tafsir
Konklaf bukan sekadar pemilihan pemimpin agama. Ia adalah cerminan dari arah Gereja Katolik dunia: apakah akan tetap melangkah di jalur reformasi ala Paus Fransiskus, atau berbalik menuju konservatisme lama? Jawaban itu, untuk sementara, masih disembunyikan di balik kabut Kapel Sistina.
Umat Katolik pun menunggu, tak hanya asap putih, tapi juga harapan baru.(*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Asap Hitam Mengepul di Vatikan, Konklaf Pemilihan Paus Baru Belum Capai Titik Sepakat
Pewarta | : Ferry Agusta Satrio |
Editor | : Imadudin Muhammad |